Sabtu, 11 Desember 2010

Ada yang bisa menolong, Eyang tidak ya...?

Eyang ini sudah 25 tahun menggeluti pekerjaannya sebagai penjual minyak antar kampung.
Suatu hari dia bertemu dengan pembeli yang mengenakan pakaian compang camping tidak memakai alas kaki dan rambutnya gembel.
Pembeli ini menghentikan langkah Eyang.
Terjadilah percakapan antara mereka, sbb:
Pembeli : "maaf Eyang, bisa saya membeli minaknya?"
Eyang : dengan sedikit ketakutan menjawab, "bo..bo..boleh". "Ma...mau berapa liter?" lanjutnya.
Pembeli : "tidak banyak, hanya enam liter saja", sahutnya dengan tersenyum.
Eyang : "baik", namun dalam hati dia berkata, "saya hanya memiliki 2 takaran yang berukuran 4 liter dan 7 liter, bagaimana mungkin saya memberikan 6 liter?".
Pembeli : "bagaimana Eyang kok malah bengong?", "kalau tidak yakin saya bisa membayarnya ya sudah saya akan pergi!", lanjutnya jengkel.
Eyang : "buu...buuu...kan begitu?", sedikit gugup dan malu karena masalahnya.
Pembeli : "ya sudah cepetan!!!!!", nadanya marah, "berapa hari Eyang jualan minyak, sepertinya susah amat melayani saya?", sahutnya.
Eyang : "Eh... pak sabar ya, saya baru berpikir bagaimana caranya melayani keinginan bapak, sabar sedikit dong...!!!!"
Percakapan semakin sengit dan nada yang digunakan semakin tinggi.
Ditambah, pembeli yang tidak membawa tempat.
Eyang pun tidak menyediakan tempat.
Satu-satunya tempat yang bisa dipakai adalah takaran 7 liter untuk menampung 6 liter minyak.
Naaaaaahhhhh, ada yang bisa membantu bagaimana Eyang menakar tepat 6 liter dari takaran yang dia bawa?
Selamat mencoba...

Kamis, 09 Desember 2010

SEMANGAT PARA PEJUANG KESELAMATAN, Dari Barat Merapi

Yayasan Dian Mandiri meyerahkan bantuan ke Dn. Berut, Ds. Sumber, Kec. Dukun, Kab. Magelang, Jawa Tengah. Dalam kesempatan ini Bp Jeffry yang berkenan menyerahkan bantuan dan diterima oleh salah satu warga yaitu Bp Budi.
Daerah ini adalah wilayah III korban merapi yang terletak disebelah barat gunung merapi. Jaraknya kurang lebih 7 km dari puncak merapi.
Saat letusan merapi terjadi, ada warga yang menungsi ke SMA Van Lith Muntilan, Gedung Bulog Magelang, SMK Pius Magelang, rumah kerabat, dan lain-lain.
Saat melakukan wawancara dengan penduduk setempat sehari setelah letusan dasyat 26 Nov 2010, warga masih mengalami trauma dan tekanan jiwa (stres). Sebelum letusan dasyat terjadi, warga ditampung di tempat yang berjarak 15 km dari merapi. Malam sebelum kejadian mengerikan itu, seorang warga menceritakan terjadinya gempa yang cukup besar. Dinding bangunan dan atapnya bergoyang dan menimbulkan suara gaduh seolah mau roboh, padahal ratusan pengungsi masih berada di dalam ruang itu. Melihat hal itu kontan membuat warga yang bubar meninggalkan lokasi. Namun tragisnya, keadaan di luar ruangan diguyur hujan abu vulkanik, pasir, batu, dan air. Keadaan ditambah pilu karena tidak ada penerangan karena listrik padam. Mereka terdorong rasa kawatir dan takut yang begitu dalam sehingga mereka membulatkan tekat untuk meninggalkan lokasi. Mereka berjalan menuju Muntilan dalam keadaan gelap gulita pada dini hari, bertarung dengan guyuran abu, pasir, batu, dan air yang mengguyur mereka sepanjang perjalanan menuju tempat yang lebih aman. Mereka menempuh jarak kurang lebih 4 km, sebelum menemukan tempat baru untuk mereka tempati.
Ada cerita yang begitu mengharukan, yang membuat kita mengelus dada. Sekitar 2 - 3 jam sebelum letusan dasyat terjadi, petugas dapur umum sudah membereskan peralatan masaknya. Seorang warga menanyakan kepada salah satu dari mereka, "kenapa dibereskan pak?", jawabnya: "tidak ada apa-apa, akan ada petugas baru yang menggantikan kami". Petugas (aparat terkait) yang berjaga di tempat tersebut terlihat mengajak kerabatnya untuk mengemasi barang bawaannya untuk meninggalkan lokasi secepatnya. Mereka seolah telah mengetahui kejadian yang akan terjadi. Ada apa dengan sisi kemanusiaannya? Kenapa mereka sampai berbuat seperti itu? Mereka yang bertanggungjawab mengayomi dan menjadi tauladan bagi warga malah menunjukkan sikap yang tidak sesuai dengan sumpah jabatannya. Salah seorang pemuda berkomentar seperti ini untuk pengayom itu, "katanya pengayom dan pelindung masyarakat, mengapa kabur duluan?" diakhiri dengan kata makian.
Warga yang melihat kejadian itu menjadi semakin marah dan kesal terhadap perlakuan yang tidak adil bagi mereka yang dilakukan oleh sesamanya. Ironis memang kejadian pada malam itu, dada bencana di dalam bencana. Bencana alam yang menghasilkan bencana sosial. Dua bencana yang membawa dampak bagi fisik dan psikis warga lereng merapi.
Lalu siapa yang akan berdiri sebagai pengayom bagi mereka disaat itu?
Ini adalah sepenggal cerita paada tragedi malam memilikan itu. Masih banyak kegelapan dan kebisuan yang harus diterangi dan disuarakan. Semoga mereka semua diberkati oleh Tuhan YME.